Memasuki paruh kedua tahun 2018, laju pertumbuhan perekonomian dunia cenderung tertahan. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi global TW318 yang terindikasi melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Aktivitas konsumsi, investasi, dan net ekspor mengalami penurunan yang dipengaruhi pengetatan kondisi keuangan global dan eskalasi ketegangan perdagangan. Ketegangan perdagangan antara AS dengan sejumlah negara mitra dagang telah menyebabkan penurunan volume transaksi perdagangan dunia yang berdampak pada penurunan harga komoditas global, kecuali minyak dunia. Harga minyak yang masih meningkat dipengaruhi oleh terjadinya gangguan suplai dan faktor geopolitik.

Kinerja perekonomian global masih diwarnai oleh divergensi arah pertumbuhan dengan kecenderungan melebar. Ekonomi AS melanjutkan penguatan yang didorong oleh stimulus fiskal dan perbaikan sektor tenaga kerja. Di sisi lain, ekonomi Kawasan Euro, Jepang, Tiongkok, dan India melemah lebih dalam. PDB Kawasan Euro termoderasi cukup tajam terdampak ketegangan perdagangan dan pelemahan ekonomi Tiongkok. Di negara inti, perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi di Jerman, Perancis dan Italia, sedangkan Spanyol relatif stabil. Di Jepang, faktor bencana alam telah melemahkan kinerja net ekspor dan investasi-tetap. Penurunan pertumbuhan cukup tajam juga terjadi di India, dipengaruhi pelemahan konsumsi masyarakat dan aktivitas produksi, serta hilangnya pengaruh base effect.

Aktivitas konsumsi global cenderung melambat terutama di negara emerging. Permintaan konsumsi yang menurun dipengaruhi oleh suku bunga tinggi, akselerasi inflasi dan depresiasi nilai tukar. Pelemahan antara lain terjadi di India, Turki, Brazil dan Filipina. Sementara itu di Tiongkok, konsumsi bergerak relatif stabil. Penurunan kredit rumah tangga dan penjualan kendaraan masih dapat diimbangi dengan kenaikan belanja konsumen yang terbantu reduksi tarif impor barang konsumsi. Di negara maju, konsumsi membaik tipis sehingga tidak dapat mengompensasi pelemahan di emerging. Perbaikan konsumsi tersebut terutama terjadi di AS, sebagai imbas positif dari pemangkasan pajak pendapatan individu dan perbaikan sektor tenaga kerja.

Konsumsi global yang tertahan menyebabkan penurunan aktivitas produksi pada mayoritas negara di dunia, kecuali AS yang masih terakselerasi. Produksi industri AS ditopang stimulus fiskal yang menurunkan pajak perusahaan, disertai sentimen bisnis yang positif. Sementara itu di Kawasan Euro dan Jepang, produksi terhambat oleh penurunan permintaan akibat eskalasi ketegangan perdagangan dan peningkatan harga minyak. Faktor bencana alam juga menjadi penyebab terganggunya produksi di Jepang.
Di tengah laju ekonomi yang tertahan, inflasi global masih melanjutkan tren kenaikan. Akselerasi inflasi terutama dipengaruhi oleh harga energi dan makanan, serta pengaruh ketegangan perdagangan. Tekanan harga minyak dunia yang makin tinggi mengakibatkan kenaikan biaya transportasi dan mendorong tingkat harga secara umum. Peningkatan inflasi terjadi di Kawasan Euro, Inggris, Jepang, dan Tiongkok. Di sisi lain, inflasi AS dan India cenderung tertahan seiring perbaikan produksi minyak AS dan peningkatan suplai bahan makanan di India.

Pergerakan pasar keuangan global selama TW3-18 masih dipengaruhi oleh sentimen penguatan ekonomi AS dan eskalasi ketegangan perdagangan yang menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan global. Penguatan ekonomi AS yang direspons oleh the Federal Reserve (the Fed) dengan melakukan normalisasi kebijakan moneter telah mendorong pergeseran investasi di pasar keuangan menuju aset negara maju, terutama AS. Keputusan the Fed menyebabkan koreksi harga saham dan depresiasi nilai tukar di negara maju maupun emerging. Faktor geopolitik dan pelemahan ekonomi turut menyebabkan gejolak di pasar keuangan, bahkan memicu depresiasi tajam nilai tukar Argentina dan Turki.

Di pasar obligasi, prospek normalisasi moneter the Fed dan sentimen konflik perdagangan menyebabkan yield obligasi AS dan negara emerging meningkat. Pada saat yang bersamaan, pasar komoditas juga cenderung melemah karena kekhawatiran pasar atas prospek penurunan permintaan akibat ketegangan perdagangan. Minyak merupakan komoditas yang masih mengalami kenaikan harga, dipicu kekhawatiran atas isu sanksi Iran dan penurunan produksi minyak, terutama di Venezuela.

Perbedaan kinerja ekonomi dan tantangan di berbagai negara menjadi dasar keberagaman respons kebijakan yang ditempuh. Pemulihan ekonomi AS yang berlanjut dan disertai inflasi yang telah berada di kisaran target melatarbelakangi keputusan the Fed untuk melanjutkan normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan secara gradual. Berbeda dengan AS, European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ) masih mempertahankan stance akomodatif untuk menopang aktivitas ekonomi yang sedang lemah. Namun ECB mulai memberi indikasi pengetatan moneter dengan mengurangi volume pembelian aset dan akan menyesuaikan suku bunga pada musim panas 2019 untuk menjaga inflasi sesuai target. Di sisi lain, bank sentral di negara emerging seperti Indonesia, India, Turki, dan Argentina memutuskan menempuh kebijakan moneter lebih ketat dengan menaikkan suku bunga untuk mengatasi tekanan nilai tukar. Sementara itu, the People’s Bank of China masih mempertahankan suku bunga, yang disertai dengan menurunkan Reserve Requirement Rate sebagai upaya untuk meredam tekanan eksternal dan menjaga momentum pertumbuhan domestik.

Berbagai dinamika yang memengaruhi pelemahan perekonomian dunia selama 2018 telah menahan optimisme atas prospek pemulihan ekonomi. Sejumlah lembaga internasional mengoreksi ke bawah proyeksi pertumbuhan dunia. IMF dalam World Economic Outlook Oktober 2018 memprakirakan pertumbuhan PDB dunia pada 2018 hingga 2020 akan relatif sama dengan 2017, yaitu 3,7% yoy (revisi ke bawah dari estimasi Juli 2018 sebesar 3,9%). OECD bahkan lebih pesimis dengan memprediksi pertumbuhan 2019 dan 2020 masing-masing sebesar 3,5%. Peranan AS dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dunia akan menurun sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi AS pada 2019 dan 2020. Kawasan Euro dan Tiongkok juga berpotensi tumbuh melambat antara lain karena penurunan permintaan ekspor akibat eskalasi konflik perdagangan. Sementara itu, ekspektasi normalisasi moneter AS dapat menyebabkan pengetatan pasar keuangan dunia dan menekan kinerja ekonomi pada sejumlah negara, khususnya emerging economies.
Kinerja perekonomian global ke depan diwarnai oleh sejumlah risiko, baik risiko yang berasal dari ekonomi global maupun domestik (idiosyncratic). Beberapa faktor yang menjadi sumber risiko antara lain pengetatan kondisi keuangan global, pelemahan ekonomi Tiongkok dan beberapa negara maju, fluktuasi harga minyak, dan ketegangan perdagangan. Pasca-kesepakatan antara Presiden Trump dan Xi Jinping untuk menunda pengenaan tarif tambahan pada pertemuan G20, ketegangan perdagangan relatif mereda. Namun langkah tersebut masih diliputi ketidakpastian bagaimana langkah konkret kesepakatan dagang akan diwujudkan. Presiden Trump juga masih memiliki kewenangan memutuskan perjanjian perdagangan –melalui executive order. Faktor geopolitik turut menjadi ancaman antara lain ketidakpastian Brexit dan politik Eropa, sanksi AS terhadap Iran dan Rusia, serta isu domestik di masing-masing negara. Sejumlah persoalan struktural seperti penurunan produktivitas, aging population, reformasi struktural yang berjalan lambat, dan perubahan iklim juga menjadi faktor risiko yang tidak dapat diabaikan.
Dinamika perekonomian yang diwarnai divergensi arah pertumbuhan ekonomi dan beberapa risiko yang membayangi prospek pertumbuhan menjadi topik pembahasan dalam berbagai fora kerja sama internasional. Fora kerja sama multilateral IMF, G20, dan BIS, membahas pentingnya bauran kebijakan moneter, fiskal, dan struktural (three-pronged approach) untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung pemulihan ekonomi. Sementara itu, pada fora regional pembahasan berfokus pada upaya untuk menyikapi kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian dan kemungkinan spillovers terhadap kawasan. Perkembangan teknologi yang pesat di sektor keuangan dan berbagai potensi risiko yang mungkin mengemuka juga semakin intensif dibahas di berbagai fora kerja sama internasional. Dalam kesempatan Sidang Tahunan IMF-World Bank 2018, Bank Indonesia memperjuangkan empat tema prioritas di bidang keuangan yang selaras dengan kepentingan nasional, yaitu (i) penguatan international monetary system; (ii) pembiayaan infrastruktur; (iii) ekonomi digital; serta (iv) ekonomi dan keuangan syariah.

Penguatan resiliensi sistem keuangan global dan reformasi arsitektur dan tata kelola keuangan global terus berlanjut. Isu mengenai progres reformasi sektor keuangan, dampak reformasi sektor keuangan terhadap pembiayaan infrastruktur dan intermediasi, serta capital flow management menjadi topik diskusi utama pada TW3-18. Selanjutnya, dalam rangka mengoptimalkan manfaat dari perkembangan fintech untuk pertumbuhan yang lebih inklusif, Indonesia bersama IMF dan World Bank meluncurkan Bali Fintech Agenda pada kesempatan pertemuan tahunan IMF-World Bank 2018 di Bali. Agenda tersebut terdiri dari 12 elemen kerangka kebijakan pengembangan fintech. Forum ASEAN juga terus melanjutkan proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diimbangi dengan upaya mendorong stabilitas dan inklusivitas di kawasan.

Upaya memitigasi risiko ketidakpastian global melalui penguatan jaring pengaman keuangan global dan regional juga terus ditingkatkan. Hal tersebut diwujudkan dengan memperkuat Global Financial Safety Net (GFSN), mendukung penyelesaian 15th General Review of Quotas (GRQ) IMF, serta menekankan pentingnya penguatan sinergi dan koordinasi antara IMF dan Regional Financing Arrangements (RFAs). Forum ASEAN+3 berkomitmen untuk terus melakukan penguatan Chiang Mai Initiatives Multilateralisation (CMIM) dan meningkatkan peran AMRO sebagai lembaga surveillance untuk menghadapi potensi spillovers ke kawasan. Negara-negara ASEAN juga secara khusus mencermati peningkatan resiliensi sistem keuangan terhadap cyber threat, salah satunya melalui inisiasi pembentukan wadah information sharing untuk isu-isu cyber security di kawasan.
Selanjutnya dalam rangka memperkuat ketahanan eksternal, Bank Indonesia menjalin kerja sama bilateral antara lain dengan Bank Sentral Australia, Jepang, Singapura, dan Tiongkok. Kerja sama dengan skema swap arrangement tersebut ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar, serta meningkatkan perdagangan dan investasi. Selain itu, Bank Indonesia juga berupaya mengelola persepsi positif atas kondisi makroekonomi Indonesia, salah satunya melalui penguatan linkage Investor Relation Unit-Regional Investor Relation Unit-Global Investor Relation Unit (IRU-RIRU-GIRU).

.

Download full text e-book: Klik di sini – PEKKI-EDISI-IV-2018.

.

Sumber: https://www.bi.go.id/id/publikasi/ekonomi-keuangan-kerjasama-internasional/pages/pekki-iv-2018.aspx

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here